Insya Allah

Jumat, beberapa waktu lalu, khotib sholat jumat di Masjid Condrokiranan, Yogya menyampaikan sebuah hal yang sepele namun ternyata penting dan mungkin seringkali kita remehkan.

Khatib yang tampak masih muda tersebut menyampaikan satu hal saja, yaitu tentang perkataan: Insya Allah. Ya, sebuah kalimat yang amat ringan kita ucapkan. Namun menurut khatib, ternyata kalimat tersebut bobotnya tak seringan pengucapannya. Ucapan Insya Allah adalah etika qurani yang amat berkaitan erat dengan konsep tauhid.

Insya Allah, seringkali kita katakana saat hendak menjanjikan sesuatu kepada orang lain. Entah berupa janji pertemuan, janji memberikan barang ataupun janji yang lain. Misalnya saja, “Ya, Insya Allah besok saya akan hadir di acara itu.” Atau “Insya Allah besok saya akan berikan barangnya.” Dan seterusnya.

Asbabun Nuzul ayat tentang Insya Allah ini, dalam artikel yang ditulis oleh Hasan Basri Tanjung MA dan dimuat pada rubrik Hikmah Republika (17/11/2011), bahwa suatu hari kaum Quraisy mengutus an-Nadlr bin al-Harts dan Utbah bin Abi Mu’ith menemui seorang pendeta Yahudi di Madinah. Maksudnya untuk menanyakan tentang kenabian Muhammad. Lalu, kedua utusan itu menceritakan segala hal yang berkaitan dengan sikap, perkataan dan perbuatan Muhammad.

“Tanyakanlah kepada Muhammad akan tiga hal. Jika dapat menjawabnya, ia Nabi yang diutus. Akan tetapi, jika tak dapat menjawabnya, ia hanyalah orang yang mengaku sebagai Nabi. Pertama, tanyakan tentang pemuda-pemuda pada zaman dahulu yang berpergian dan apa yang terjadi kepada mereka. Kedua, tanyakan juga tentang seorang pengembara yang sampai ke Masyriq dan Magrhib dan apa yang terjadi padanya. Ketiga, tanyakan pula kepadanya entang roh,” kata pendeta Yahudi itu.

Pulanglah kedua utusan itu kepada kaum Quraisy dan menceritakan apa yang disuruh oleh pendeta Yahudi. Lalu mereka menemui Rasulullah SAW dan menanyakan ketiga hal itu.

“Aku akan menjawab pertanyaan kalian besok,” kata Rasululullah SAW tanpa disertai kalimat “Insya Allah.”

Seperti pada kejadian sebelumnya, setiap kali ada persoalan yang ditanyakan kepada Rasulullah maka Allah akan menurunkan wahyu yang menjadi penjelasan atas persoalan tersebut. Namun dalam riwayat, Rasulullah SAW menunggu hingga 15 malam tapi wahyu belum turun. Orang-orang Makkah mulai mencemooh, dan Rasulullah SAW sangat sedih, gundah, dan malu karena tidak tahu apa yang mesti dikatakan kepada kaum Quraisy. Hingga akhirnya datanglah Jibril membawa wahyu.

Wahyu yang datang tak lantas menjawab persoalan, namun wahyu yang diterima Rasulullah SAW adalah teguran kepada Nabi Muhammad karena memastikan sesuatu terjadi esok hari tanpa mengucapkan “Insya Allah” (atas ijin Allah). Hal ini tertulis dalam surat al-Kahfi ayat 23-24.

Setelah  itu Jibril menyampaikan tentang pemuda-pemuda yang berpergian, yakni Ashabul Kahfi (18:9-26), seorang pengembara, yakni Dzulkarnain (18: 83-101), dan perkara roh (17: 85).

Maka kata Insya Allah, merupakan kata yang menunjukkan ketundukan pada kehendak Allah. Mufassir Ibnu Jarir ath-Thahari menjelaskan, “Inilah pengajaran Allah kepada Rasulullah SAW agar jangan memastikan suatu perkara akan terjadi tanpa halangan apa pun, kecuali menghubungkannya dengan kehendak Allah SWT.” Inilah tauhid dalam kata sederhana itu. Sebuah makna yang amat mendalam; bahwa keyakinan atas segala sesuatu yang akan terjadi hanya pasti terjadi bila Allah menghendakinya.

Lebih lanjut, Hasan Basri Tanjung mengungkapkan bahwa di dalam kata “Insya Allah” terdapat empat makna. Pertama, manusia memiliki ketergantungan yang tinggi atas rencana dan ketentuan Allah. Kedua, menghindari kesombongan karena kesuksesan yang dicapai. Ketiga, menunjukkan keterbatasan diri dalam melakukan sesuatu (tawadhu) di hadapan manusia dan Allah SWT. Keempat, bermakna optimism akan hari esok yang lebih baik.

Nah, saya sendiri juga terkadang seringkali menganggap ringan mengucapkan “Insya Allah.” Rasanya sudah ‘otomatis’ saja saat hendak berjanji. Yang lebih parah, bila “Insya Allah” digunakan sebagai dalih untuk tidak menepati sebuah hal yang dijanjikan.

Jadi, kalau kita mengucapkan kata Insya Allah, seharusnya kita untuk berusaha dengan sekuat tenaga untuk menepati apa yang hendak kita kerjakan untuk orang lain, dan menyandarkan usaha kita itu pada kehendak Allah yang menentukan keberhasilan. Konon, dalam sebuah

Saya sendiri masih perlu banyak belajar, untuk lebih bisa beretika qurani dan memahami kata Insya Allahtak sebatas ucapan tapi juga makna dan konsep tauhid didalamnya.

Mohon doa.

Tinggalkan komentar