“Fase pertama saya katakan, fase jihad sughra (jihad kecil). Kita telah sekarang berada dalam keadaan damai, dalam masa pembangunan, menghadapi jihad akbar, jihad yang lebih besar. Jihad ini tidak meminta kekuatan lahir, tidak menuntut kekuatan badan, tetapi bekerja menuntut kekuatan pikiran, kekuatan akal, kekuatan akhlak,” itulah pesan Prawoto Mangkusasmito, Ketua Umum Partai Masyumi yang ia sampaikan saat milad ke-6 Masyumi.
Prawoto yang lahir di Tirto, Grabag, Magelang pada tanggal 4 Januari 1910 langsung terjun ke dalam dunia politik begitu memasuki pendidikan di AMS, Yogyakarta. Kemudian bergabung di Jong Java sampai menjadi Indonesia Muda. Ia aktif pula di Jong Islamiten Bond, dan terakhir pada tahun 1945 saat Partai Masyumi berdiri Prawoto langsung duduk sebagai pimpinan pusat, hingga menjadi ketua umum partai terakhir setelah Masyumi dibubarkan Sukarno pada tahun 1959.
Dari uraiannya, Prawoto sadar betul bahwa berjuang dalam era membangun jauh lebih sulit dari masa merebut. Ia mengibaratkan bahwa perjuangan meraih kemerdekaan seperti seorang petani yang mendapat kembali tanah pusaka nenek moyang dari tangan orang lain.
“Kita mendapati tanah itu dalam keadaan rusak, Kita harus mulai mengolahnya dengan baik-baik. Akan tetapi, apa yang kita lihat? Tidak sedit orang yang mengira bahwa kita sudah sampai kepada waktu memetik buah. Tanah baru saja kembali untuk dikerjakan sendiri, buah sudah hendak dipetik, bukan hendak memetik saja, teapi setengah orang berpikir dan berkelakuan seperti orang tani dalam musim panen,” katanya.
Ya, kesulitan pertama setelah perjuangan yang begitu panjang adalah terburu-buru menikmati hasil. Apa yang dikatakan Praowoto mungkin bagi kita terdengar mirip dengan yang seringkali di teriakkan Bung Karno dalam pidatonya, bahwa; Revolusi belum selesai!
Prawoto telah mewariskan kepada generasi setelahnya, bahwa perlunya mempersiapkan kekuatan akal, pikiran dan akhlak. Tidak hanya bertumpu pada akal semata, ataupun pikiran semata tapi ia juga melandaskan pada akhlak. Pada satu pesan ini saja kita bisa membahasanya dengan panjang lebar. Dan saya kira kita semua amat perlu mendalaminya kembali, bukan melalui tulisan ini tapi juga mengambil dari sumber lain.
Prawoto adalah –meminjam istilah yang dikutip Jakoeb Oetama adalah paradoks eksistensial. Yang artinya pernyataan atau kondisi yang tampak kontradiktif atau tidak masuk akal, tetapi sesungguhnya berlandaskan pada dasar yang kukuh dan lebih lengkap dari yang tampak. Jakoeb memisalkan pada diri Syahrir. Menurut Herry Priyono, Syahrir tidak pernah punya ambisi yang membara akan kekuasaan, dan ia punya kebebasan batin yang mengangumkan terhadap jabatan serta kursi kekuasaan. Menurutnya Syahrir dan Prawoto punya titik temu, terutama dalam menyikapi paradoks-paradoks di dalam diri mereka masing-masing, yakni pencarian tata hidup personal dan tata bersama yang bermutu dan matang.
Prawoto telah menyelesaikan tugasnya. Dalam bahasa Jacoeb Oetama; “tugas mewariskan integritas watak dan cara berpolitik mereka merupakan tugas para ahli waris, generasi muda kemudian.”