Menantimu

*aku tengah menantimu, mengejang bunga randu alas

di pucuk kemarau yang mulai gundul itu

Aku kembali duduk dibawah pohon randu ini. Cuaca sedang panas membakar, tak ada petani yang terlihat di hamparan padi yang mulai menguning. Tapi panas tak terasa di sini, sayang. Dibawah pohon rindang randu ini. Kemarilah, ku tunggu kau disini. Menikmati semilir angin, segarnya udara dan kantuk yang tiba-tiba menggelayuti.

berapa juni saja menguncup dalam diriku dan kemudian layu 

yang telah hati-hati kucatat, tapi diam-diam terlepas 

Sekian waktu aku menunggu. Selalu, dalam tiap hari yang pelan-pelan ku lewati dengan kerinduan. Aku catat. Biar tak lupa. Nanti ku ceritakan padamu saat kita bertemu. Aku selalu mengenang matamu yang berbinar saat ku ceritakan soal sekuntum mawar yang mulai mekar. Katamu, kau selalu suka dengan bunga-bunga. Selalu berkata ingin membuat satu taman kecil di halaman rumah. Aku tersenyum.

awan-awan kecil melintas di atas jembatan itu, aku menantimu

musim telah mengembun di antara bulu-bulu mataku

Waktu seperti aliran air, ia hanya mengalir ke satu arah tak bisa kembali lagi. Berapa musim aku menantimu? Hingga bening-bening air selalu bermunculan di sudut mata.

kudengar berulang suara gelombang udara memecah

nafsu dan gairah telanjang di sini, bintang-bintang gelisah

Jangan patahkan harapanku. Manusia hidup dengan harapan. Kegelisahanku hati saat menantimu tak bisa ku bendung. Seperti arus samudera yang bergejolak keras, menerpa dinding hati yang semakin menipis.

telah rontok kemarau-kemarau yang tipis; ada yang mendadak sepi

ditengah riuh bunga randu alas dan kembang turi aku pun menanti

Langit telah berwarna jingga. Burung-burung telah terlihat terbang kembali ke sarang. Dan engkau belum datang. Apakah engkau tersesat? Aku kira kau tak akan lupa tempat ini. Bukankah randu alas ini adalah tempat yang selalu kita kunjungi.

barangkali semakin jarang awan-awan melintas di sana

dan tak ada, kau pun, yang merasa ditunggu begitu lama

 

 

 

*sajak Aku Tengah Menantimu dari Sapardi Djoko Damono.

Dendam 1001 Malam

Dendam 1001 Malam

“Cerita 1001 malam adalah sebuah kisah berlatar belakang dendam dan memaafkan,” kata Dr. Bagus Priyono pada suatu sesi kuliah.

Saya sendiri mengetahui cerita 1001 malam hanyalah sebatas kisah Alladdin dan Petualangan Sinbad. Asal usul munculnya cerita itu saya baru tahu setelah saya mendengar penjelasan Pak Bagus. (Ah, saya sendiri merasa setiap kali kuliah Pak Bagus itu bagaikan konsultasi psikologis. Sebagian besar yang ia sampaikan, tentang teori kepribadian, berhubungan dengan lika liku kehidupan pribadi)

Saya lalu mencari keterangan dari Google. Hasil browsing itu saya mendapat refernsi dari situs Wikipedia dan benar bahwa –berdasar info Wikipedia- asal usul cerita 1001 malam berlatar belakang sakit hati, dendam dan menghilangkannya.

Selengkapnya saya kutipkan.

Cerita “1001 malam” dimulai oleh seorang raja di Arabia bernama Shahriar yang terkejut melihat istrinya ternyata telah berselingkuh. Karena marah, ia membunuhnya. Ia lalu mulai berfikir bahwa semua wanita itu tidak setia, mudah tergoda laki-laki lain. Sang raja lalu memerintahkan pembantunya untuk membawakan seorang istri baru setiap malam, dan menjelang fajar ia menyuruh para pengawalnya untuk membunuhnya. Sampai akhirnya ada seorang wanita yang punya rencana jitu untuk meredam kegusaran sang raja. Ia adalah Scheherazade.

Pada malam hari ia mulai mendongengkan cerita-cerita yang begitu menarik tapi akhir ceritanya selalu menggantung dan bikin penasaran. Saking penasarannya Sang Raja tidak berani membunuhnya. Ia merasa harus mendengar kelanjutan ceritanya. Itu berlangsung 1001 malam lamanya. Cerita baru berakhir ketika akhirnya sang istri telah memberinya 3 anak dan membuktikan kesetiaannya pada sang raja.

Awalnya adalah sakit hati. Lalu muncul dendam bahwa setiap wanita itu tidak setia, yang berakibat pada tindakan istri baru setiap malam yang paginya dibunuh.

Adalah Scheherazade yang menceritakan sebuah kisah setiap malam. Yang akhirnya mampu meluruhkan dendam hati Sang Raja.

“Dendam adalah penyakit hati yang paling berbahaya,” kata Pak Bagus. “Ia tidak hanya akan berakibat pada diri sendiri tapi juga berdampak pada lingkungan dan orang lain.”

“Seperti Sang Raja yang perlu waktu 1001 malam untuk menghilangkan sakit hatinya, apabila tidak dikelola dan diselesaikan dengan baik, dendam juga dapat bertahan lama dalam diri seseorang. Dan hal itu tidak akan membuat kepribadian orang itu menjadi tenang dan stabil,” lanjutnya.

Mendengar kalimat Pak Bagus itu saya serasa ditusuk tepat di jantung hati. Jangan-jangan selama ini masih ada perasaan sakit hati yang terus menerus saya simpan.

Ah, saya jadi menunduk memandang ke dalam diri sendiri.

Buku

Buku

Kenapa di gerbong kereta api Jakarta-Surabaya pasasir Indonesia tidak membaca novel, tapi menguap dan tertidur miring? Kenapa di bus Pekanbaru – Bukittinggi penumpang tidak membaca kumpulan cerpen, tapi mengisap rokok?

Kenapa di halaman kampus yang berpohon rindang mahasiswa tidak membaca buku teks kuliahnya tapi main gaple? Kenapa di kapal Makassar – Banda Naira penumpang tidak membaca buku kumpulan puisi, tapi main domino? Kenapa di ruang tunggu dokter spesialis penyakit jantung di Manado pengantar pasien tidak membaca buku drama tapi asyik main sms?

Itu bukan tulisan saya, itu adalah tulisan Taufiq Ismail dalam Tragedi Nol Buku.

Tulisan itu adalah sebuah renungan sekaligus kritikan tajam dari seorang sastrawan termuka di Indonesia. Keprihatinan atas dunia pendidikan yang semakin jauh dari membaca buku dan sastra. Saya sendiri bukan mahasiswa jurusan sastra, namun saya amat menyukai karya sastra. Sebagian besar koleksi buku saya yang terpajang di rumah adalah novel dan buku cerita.

Saya sendiri hobi membaca buku. Kebiasaan ini lahir semenjak saya masih kecil. Saat ditinggal di kedua orang tua untuk bekerja hanya sebuah buku yang setia menemani saya di rumah sendirian.

Kembali ke pertanyaan Taufiq Ismail diatas, kenapa orang Indonesia jarang membaca buku? Menurutnya hal ini disebabkan karena tidak ada lagi kewajiban membaca buku bagi siswa.

“Sebagai tamatan SMA Indonesia, mari kita ingat-ingat berapa buku sastra yang wajib baca selama 3 tahun di sekolah kita dulu (yang disediakan di perpustakaan, dibaca tamat, kita menulis mengenainya dan lalu diujikan?)
Nol buku,” katanya.

Tapi kewajiban baca 25 buku itu, lanjutnya, tidak bertujuan agar siswa jadi sastrawan. Tidak. Sastra cuma medium tempat lewat. Sastra mengasah dan menumbuhkan budaya baea buku secara umum.

Taufik Ismail juga menceritakan tentang seorang Anak Baru Gede di tahun 1919 masuk sekolah SMA dagang menengah Prins Hendrik School di Batavia. Wajib baca buku sastra menyebabkannya ketagihan membaca, tapi dia lebih suka ekonomi. Dia melangkah ke samping, lalu jadi ekonom dan ahli koperasi. Namanya Hatta.

Seorang siswa yang sepantaran dia, di AMS Surabaya, juga adiksi buku. Kasur, kursi dan lantai kamarnya ditebari buku. Tapi dia lebih suka iImu politik, sosial dan nasionalisme. Dia melangkah ke samping dan jadi politikus. Namanya Soekarno.

Sastra menanamkan rasa ketagihan membaca buku, yang berlangsung sampai siswa jadi dewasa. Rosihan Anwar (kini 83) tetap membaca 2 buku seminggu. Buku apa saja. “Jiwa saya merasa haus kalau saya tak baca buku,” kata beliau. Demikianlah rasa adiksi yang positif itu bertahan lebih dari setengah abad, bahkan seumur hidup.

Tragedi Nol Buku ini, yang sudah berlangsung 55 tahun lamanya, dengan mudah dapat dijelaskan kini akibatnya. Tamatan SMA Nol Buku sejak 1950 (saya tak sempat menghitung dengan teliti tapi pastilah meliputi beberapa juta orang); mereka inilah yang kini jadi warga Indonesia terpelajar serta memegang posisi menentukan arah negara dan bangsa hari ini, dengan rentang umur antara 35 – 70 tahun.

Pada sajak Kupu-kupu di dalam buku, Taufiq Ismail menuliskan satu bait yang mengajak semua orang untuk membaca.

“Agaknya inilah yang kita rindukan bersama,
di setasiun bis dan ruang tunggu kereta-api negeri ini buku dibaca,
di perpustakaan perguruan, kota dan desa buku dibaca,
di tempat penjualan buku laris dibeli,
dan ensiklopedia yang terpajang di ruang tamu
tidak berselimut debu
karena memang dibaca.”

Lalu, sudah berapa banyak buku yang kita baca?

Rosebud

Rosebud.

Adalah sebuah kata yang diucapkan oleh tokoh utama sebuah film yang diputar di kelas saya beberapa waktu lalu. Rosebud, menjadi kata yang amat penting, karena diucapkan oleh seorang milyuner dan orang yang paling berpengaruh.

Semua orang bingung, apa yang dimaksud Rosebud? Atau siapakah itu Rosebud? Hingga menjadi kata terakhir.

Film tersebut bercerita tentang seorang anak yang diadopsi -dalam bahasa lain direbut- oleh seseorang. Seorang anak yang awalnya hidup miskin namun seiring perkembangan dewasanya ia mampu menjadi orang kaya dan mempunyai pengaruh kuat. Usahanya menuju kekayaan dan kemahsyuran tak terlepas dari berbagai inrik yang ia lakukan. Di satu sisi ia menjadi orang yang paling dicintai namun di sisi lain ia adalah orang paling dibenci.

“Rosebud adalah secuil benda yang hilang dalam hidup tokoh itu,” kata Dr. Bagus Priyono, dosen saya untuk menjelaskan film itu.

“Satu kata itu, Rosebud, adalah sebuah kata yang menjelaskan seluruh bagian kehidupannya, yaitu; dendam. Segala tingkah laku yang si tokoh jalani adalah dendam kepada Ayah angkatnya yang mengadopsi atau merebutnya dari ibu kandungnya terlebih dahulu. Setiap yang ia lakukan adalah gambaran pembalasan dendam kepada ayah angkatnya,” kata Dr. Bagus.

Dendam, lanjutnya, adalah sebuah kanker dalam hati. Dendam walaupun bisa membuat seseorang menjadi ‘sukses’ dalam arti berlimpah materi, kaya dan berkuasa, namun dendam adalah sebuah perasaan yang tak akan membahagiakan. Jangan meremehkan dendam dan jangan menyimpan sakit hati dan kekecewaaan. Orang pendemdam bukan berarti orang yang lemah, ia bisa menjadi orang besar. Namun kebesaran yang didapatkan dari dendam selalu tak akan menemukan ketenangan.

Mengembangkan kepribadian yang sehat, dendam positif dan negatif harus dihilangkan. Dendam adalah penyakit hati yang sangat kronis. Sangat sulit mendeteksi dendam. Ia adalah perasaan lembut yang menyusup namun langsung menikam. Hanya diri sendiri yang tahu bahwa ada dendam yang bersemayam dalam hati.

Dendam berawal dari kekecewaan, dan kekecewaan dapat berasal dari harapan yang tidak tertunaikan. Kepribadian matang adalah orang yang mempunyai ketenangan jiwa. Orang yang dendam tidak hanya membalas orang yang menyakitinya tapi juga ekspresi itu akan dilampiaskan pada semua orang.

Saya lalu bertanya pada diri saya sendiri, adakah dendam dalam hati saya? Adakah sakit hati dalam diri saya?

Rosebud bukanlah seseorang, namun ia adalah kata yang tertulis dalam papan luncur yang tokoh tadi gunakan saat bermain salju. Waktu itu adalah saat-saat konflik perebutan dari ibunya. Waktu itu adalah momen yang ia ingat dan terpatri dalam ingatan dan hati anak itu. Rosebud adalah kebahagiaan waktu kecil yang direbut. Dan dari situlah awalnya dendam.

Lalu bagaimana mengatasi dendam?

Pak Bagus mengatakan adalah dengan cara memaafkan, dan memaafkan harus sampai lupa. Diikhlaskan segala kesalahan orang lain.

Apakah saya sudah memaafkan?

Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk memaafkan.

Tanpa judul

Aku mencintaimu, itu sebabnya aku tak akan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.

Itu bait sajak Sapardi Djoko Damono, Dalam Doa.

Doa; adalah sebuah hal terbaik yang mampu ku berikan.

Doa; adalah sebuah hal terbaik yang melebihi harta, tahta, ataupun benda dunia lainnya.

Dengan doa aku terhubung langsung kepada Sang Pencipta, memohon padaNya untuk kebaikan dirimu. Bukankah Dia yang Maha Kuasa? Aku tak sanggup memberikan sebutir debu padamu tanpa kehendakNya. Aku tak mampu bersamamu tanpa kehendakNya.

Maka aku berdoa, memohon kepadaNya. Kepada yang Maha Menguasai Segala Sesuatu. Berdoa untuk keselamatanmu.

Aku mencintaimu, maka aku tak akan pernah selesai mendoakan keselamatanmu.